GENERASI TABAYYUN

20160714_065836

 

“ Membiarkan anak menggunakan media sosial tanpa pengetahuan dan keterampilam berpikir kritis, seperti melepaskan anak di rimba raya tanpa senjata yang tepat. Dia tidak hanya akan terluka oleh musuhnya, tapi oleh senjatanya sendiri “.

Globalisasi menjadi tak terpisahkan dengan Gadget. Peralatan yang mengandung unsur teknologi informasi ini, apabila tersambung dengan internet akan menghasilkan hubungan lintas wilayah dan waktu. Kita dengan sangat mudah dapat memberikan umpan balik terhadap informasi yang sifatnya real time dengan jangkauan ke seluruh penjuru dunia.

Hasil penelitian We Are Social “Digital Around The World 2019” bekerja sama dengan Hootsuite,seperti dilansir beritasatu.com,  terdapat 130 juta jiwa orang Indonesia yang aktif di media sosial. Dalam laporan tersebut terungkap bahwa total populasi Indonesia yang kini mencapai 265,4 juta jiwa, setengah di antaranya telah menggunakan internet, yaitu sebanyak 132,7 juta dan 130 juta diantaranya adalah pengguna aktif media sosial dengan penetrasi mencapai 49%.

Media sosial akhirnya sangat lekat dalam kehidupan setiap orang. Anak dan remaja, dalam konteks generasi penerus bangsa, menjadi salah satu bagian dari masyarakat yang aktif menggunakan media sosial. Sayangnya, media sosial yang begitu banyak memberikan kemudahan akses dan feedback , pada sisi yang lain tidak diimbangi dengan pengetahuan dan kemampuan untuk berpikir kritis terhadap informasi dan cenderung mengenyampingkan nilai-nilai moral dan etika.

Media sosial bahkan menjadi ekspresi remaja untuk melakukam tindak kekerasan. Sebuah artikel berjudul Literasi Medsos bagi Remaja di laman sahabat keluarga mengutip hasil penelitian sejumlah pakar di Amerika Serikat tentang komputer dalam perilaku manusia, yang diterbitkan di jurnal Elsevier pada 2014, menyebutkan medsos menjadi kendaraan bagi anak muda dalam melakukan tindak kekerasan terhadap teman sebaya. Seperti perundungan, pelecehan, kejahatan, dan kekerasan dalam berpacaran. Hal itu terjadi karena adanya online disinhibition effect pada lingkungan digital, yakni ketidakmampuan menahan diri. Sehingga di medsos seseorang bisa berkomentar semaunya, memaki, menghina, dan tidak punya adab. Akibat buruknya dapat berujung pada perkelahian di dunia nyata.

Pengenyampingan nilai-nilai moral dan etika dalam berkomunikasi dan menyebarkan informasi di media sosial juga memicu penyebaran berita bohong atau hoaks.  Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI),  Hoaks mengandung makna berita bohong, berita tidak bersumber.

Mursalin Basyah, seperti dikutip oleh Iffah Al Walidah, menyebutkan hoaks sebagai senjata paling ampuh dalam menghancurkan umat ditiap generasi manusia. Menurutnya informasi hoaks biasanya selalu masuk akal dan menyentuh sisi emosional, sehingga orang yang menerima berita tersebut tidak sadar sedang dibohongi. Bahkan menganggap dengan mudah bahwa berita tersebut adalah fakta dan harus disampaikan pada orang lain yang dianggap membutuhkan.

TABAYYUN

Fenomena Media sosial dengan hoaks dan kekerasan dalam berkomunikasi, sesungguhnya telah diatur dalam Al-Qur’an surat Al Hujurat ayat 6 yang berbunyi: “Hai orang-orang yang beriman jika datang kepada kamu seorang yang fasik membawa suatuberita, maka bersungguh-sungguhlah mencari kejelasan agar kamu tidak menimpakan suatu musibah kepada suatu kaum tanpa pengetahuan yang menyebabkan kamu atas perbuatan kamu menjadi orang-orang yang menyesal”.

Quraish Shihab mengartikan Fatabayyanu pada ayat tersebut sebagai makna teliti dalam menerima berita atau informasi yang disebarkan oleh orang fasik. Sehingga dapat disimpulkan bahwa Tabayyun adalah sikap tidak tergesa-gesa dan meneliti terlebih dahulu ketika menerima atau berita atau informasi dari orang fasik. Orang fasik sendiri secara sederhana diartikan sebagai orang yang telah keluar dari ketaatan kepada Allah.

Dalam konteks kekinian, Tabayyun semestinya menjadi prosedur tetap untuk memvalidasi informasi atau berita yang kita terima. Sayangnya, kecepatan informasi dalam jaringan , memberikan kesempatan kepada kita untuk ‘seolah-olah’ juga harus meresponnya dengan cepat, tanpa berpikir panjang.

Adi W. Gunawan, dalam bukunya Genius Learning Strategy,  menyebutkan tiga hal yang sangat penting dalam kehidupan anak jika dia dilatih untuk berpikir tingkat tinggi, yaitu anak bisa memahami informasi, berpikir yang berkualitas dan mencapai hasil akhir berkualitas. Ada tiga keterampilan berpikir otak tingkat tinggi yang jarang dilatih kepada anak-anak kita di sekolah dan di rumah, yaitu keterampilan berpikir kritis, berpikir kreatif dan berpikir memecahkan masalah. (Munif Chatib, 2012).

 “ Membiarkan anak menggunakan media sosial tanpa pengetahuan dan keterampilam berpikir kritis, seperti melepaskan anak di rimba raya tanpa senjata yang tepat. Dia tidak hanya akan terluka oleh musuhnya, tapi oleh senjatanya sendiri “.

Maka kita harus mempersenjatai anak-anak kita, dengan apa yang mereka butuhkan dalam menghadapi permasalahan-permasalahan berat pada zamannya. Agar memiliki keterampilan berpikir kritis, berpikir kreatif dan berpikir memecahkan masalah.

Pertama, orangtua harus memiliki spirit untuk terus belajar.

Orangtua mempunyai tanggung jawab yang cukup berat dalam mendidik anak-anaknya untuk selalu berpikir kritis. Sayang, kebanyakan orang tua justru tamat dalam menuntut ilmu ketika mereka juga tamat dari sekolah. Sebagai orangtua yang permasalahannya bertambah kompleks, justru tidak lagi belajar.

Spirit untuk terus belajar seharusnya dimiliki para orangtua, karena sesungguhnya, proses pembelajaran yang dijalani anak-anak, adalah proses pembelajaran yang harus dilalui orangtua lebih dulu. Jadi, hasil yang orangtua harapkan untuk anak pun, adalah hasil yang orangtua peroleh terlebih dahulu.

Sebab, anak adalah cerminan orang tua. Anak pada tahapan tertentu adalah peniru ulung orangtuanya, mungkin mereka tidak akan mendengarkan apa yang kita nasehatkan, tetapi hampir dipastikan, mereka akan meniru apa yang kita lakukan. Tidak bisa kita mengharapkan anak bisa melakukan A, kalau yang kita teladankan adalah B.

Kedua, menunjukkan rasa cinta.

Rasa cinta, akan menumbuhkan kepercayaan anak kepada orangtua. Anak akan menjadikan orangtua sebagai rujukan dan tempat kembali yang aman untuk berbagi pendapat.  Munif Chatib dalam bukunya berjudul Orangtuanya Manusia, mengajak orangtua untuk mempertahankan empat momen spesial saat bertemu muka dengan anak setiap harinya :

  1. Ketika anak terbangum dari tidurnya di pagi hari.
  2. Ketika berpisah pagi hari, anak berangkat sekolah atau orangtua berangkat bekerja.
  3. Ketika anak pulang sekolah atau orangtua pulang bekerja
  4. Ketika anak akan tidur.

Ketiga, memperkaya  literatur pengetahuan .

Dalam pengayaan literatur baik untuk anak maupun orangtua, saya memilih buku . sebab, sebuah buku adalah pintu masuk  untuk buku selanjutnya. Pembahasan sebuah buku utuh dan terstruktur, tapi tidak titik, tidak berhenti, justru merangsang untuk mencari pengetahuan yang lebih luas lagi. Aktifitas membaca buku memiliki turunan sebuah tradisi untuk berdiskusi. Tradsi yang  melatih keterbukaan menerima perbedaan.

Keempat, melakukan proyek keluarga

Melakukan aktivitas yang secara sadar dibicarakan bersama, dikerjakan bersama oleh seluruh atau sebagian anggota keluarga dalam rangka mencapai tujuan yang telah ditetapkan secara bersama pula. Beraktifitas, adalah hal yang sangat menyenangkan dan tak terlupakan bagi siapapun. Percayalah, karena modalitas kinestetik (beraktifitas) merupakan modalitas tertinggi dibandingkan modalitas audio dan visual.

Mari belajar dan terus berpikir, karena belajar dan berpikir akan mengutuhkan kemanusiaan kita.

#SahabatKeluarga #LiterasiKeluarga

 

SUMBER :

https://sahabatkeluarga.kemdikbud.go.id/laman/index.php?r=tpost/xview&id=249900385

ejournal.uin-suka.ac.id, Iffah Al Walidah

https://www.beritasatu.com/nasional/550691/saat-remaja-tak-bisa-kendalikan-diri-di-media-sosial

Sekolahnya Manusia, Munif Chatib, 2012.